CERITAKU: Sakit Sebentar (Bagian 09)

 


Selama waktu libur akhir tahun pelajaran, dengan status naik kelas 2, saya diajak oleh ibu mengunjungi keluarga kakak sulung saya di Banyubiru, Ambarawa. Kami berkunjung dalam rangka menghadiri acara hajatan khitanan ponakan saya, anak sulung kakak saya. Jadi, ponakan saya ini adalah cucu pertama dari kedua orang tua saya. Umur ponakan saya ini setahun lebih tua dari usia saya.

Menjelang pelaksanaan khitan, saya mengatakan ke ibu saya bahwa saya siap untuk ikut dikhitan. Hal itu disampaikan kepada kakak saya. Serta merta hari itu saya dibelikan sarung ke pasar di Salatiga.  Sore harinya, proses khitan dilaksanakan. Yang mengkhitan adalah suami kakak saya yang berprofesi sebagai seorang mantra kesehatan di Banyubiru. Saya dikhitan sesudah ponakan saya.

Dan akhirnya, tibalah waktunya saya dikhitan. Dengan perasaan sedikit takut membayangkan sakitnya dikhitan, saya memantapkan diri untuk bertanggungjawab atas pernyataan saya sudah siap dikhitan. Proses pun selesai. Setengah jam kemudian, rasa sakit akibat dikhitan baru terasa. Lumayan juga rasanya! Nyeri dan sedikit panas. Dalam bahasa Jawa: kemranyas! Sesudah menunggu seminggu lamanya, luka bekas dikhitan sudah mengering. Perban sudah dibuka. Dengan sangat hati-hati saya mengganti sarung dengan celana harian yang agak longgar.

Menjelang masuk sekolah, saya pulang ke rumah. Di kelas 2, status saya sudah menjadi perjaka. Kabar saya sudah dikhitan akhirnya didengar oleh teman-teman sebaya di dusun kami. Banyak yang memberi selamat bahwa saya sudah dikhitan. Ada juga yang bertanya, kapan syukurannya? Kami jawab, kami sudah bersyukur sudah sehat kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

KISAH NYATA: Siap Sedia atas Talenta (Bagian 10)

KISAH NYATA: Harmonisasi dalam Keluarga (bagian 08)