CERITA KECIL: Sumur Senggotan (Bagian 3)
Sebagai
anak lanang satu-satunya dalam keluarga, dan sekaligus anak bungsu, tentu saya
sangat disayangi oleh ayah dan ibu. Juga sangat dilindungi oleh kakak perempuan
saya yang berjumlah 4 orang. Boleh dikata, saya menjadi pusat perhatian dalam
keluarga. Menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ada untungnya, memiliki rasa
aman. Namun ada tidak enaknya karena kadang kakak-kakak perempuan saya melakukan
hal-hal iseng terhadap saya, misalnya mendandani saya menggunakan peralatan
make up milik mereka, atau memakaikan pakaian perempuan milik mereka. Dan entah
apa yang terjadi, setiap mereka melakukan demikian, kakak saya tertawa
terpingkal-pingkal. Mungkin tingkah saya menjadi lucu.
Pada
suatu pagi, saya diajak oleh kakak-kakak saya ke di pinggir sungai desa. Di tempat
itu, orang tua kami memiliki sebuah lahan pertanian yang biasa ditanami dengan jagung,
kacang tanah, dan sayur mayur. Guna mencukupi kebutuhan air bagi tanaman di
ladang tersebut ayah membuat sebuah sumur gali guna diambil airnya untuk
menyirami tumbuhan agar tumbuh dengan subur.
Untuk
mengambil air dari sumur itu, digunakan alat yang kami sebut senggotan. Semacam
alat jungkat-jungkit yang salah satu ujungnya dihubungkan dengan galah bambu dan
diikatkan sebuah ember sebagai timba, sedangkan di ujung lainnya diberikan beban
dari sebongkah batu yang diikat dengan kuat. Masalahnya, pagi itu kakak-kakak
saya melakukan eksperimen dengan mengikatkan saya pada batu pemberat pada alat
senggotan. Saya diikat kuat menggunakan sebuah selendang yang biasa dipakai
oleh ibu-ibu menggendong anak, atau menggendong tenggok ke ladang. Singkat
cerita, seperti biasa kakak-kakak saya tertawa terpingkal-pingkal. Sekali lagi
mungkin kejadian saya sebagai beban senggotan itu lucu adanya.
Untung
kejadian ini diketahui oleh ibu saya ketika ibu menyusul kami ke ladang
di pinggir sungai tersebut. Ibu pun marah kepada kakak-kakak saya, dan
mengatakan jangan diulangi, bahaya! Setelah dilepas dari ikatan, saya pun
dipeluk erat oleh ibu. Di dekapan ibu, jantung saya yang semula berdebar kencang karena takut saat menjadi
pemberat senggotan perlahan berdebar normal kembali. Terima kasih ibu.
Komentar
Posting Komentar