CERITA KECIL: Menerima Hosti Pertama (Bagian 29)
Sebagai
seorang yang beragam katolik sejak bayi, hal yang saya nantikan adalah saat menerima
komuni pertama. Orang tua dan kakak saya selalu menceritakan bahwa menerima
komuni sama dengan menerima berkat Tuhan yang luar biasa, hosti itu enak
rasanya, dapat membuat tubuh sehat dan kuat. Membuat kita dapat masuk surga. Maka dari itu,
ketika tiba waktunya diadakan ibadat misa di rumah pak de (kita belum memiliki
kapel) saya selalu memperhatikan orang-orang dewasa berbaris rapi untuk maju
menerima hosti dari romo. Saya selalu merindukan, kapan ya saya diijinkan
menerima komuni?
Wilayah
kami masuk ke dalam paroki Wonosari, gereja Santo Petrus Kanisius. Di daerah Kabupaten
Gunung Kidul waktu itu hanya terdapat 1 gereja dalam satu paroki. Akibatnya,
kami hanya dapat mengikuti misa selapan hari sekali. Selapan terdiri dari 35
hari. Untuk menguatkan iman, setiap
malam minggu diadakan piwulangan (ibadat sabda) di rumah pak de. Yang memimpin
ibadat kadang bu de, pak de, kadang juga oleh tokoh katolik dari stasi Sambeng
sebagai induk gereja kami. Di kemudian hari, ibadat dipimpin oleh seorang guru agama
yang tinggal di rumah pak de sekaligus menantunya pak de saya.
Seharusnya,
seseorang yang akan menerima komuni pertama dipersiapkan secara khusus. Namun,
kondisi saat itu barang kali berlaku khusus karena keterbatasan. Saat saya sudah duduk di
kelas 5 sekolah dasar, pada misa di
bulan itu, saya disuruh oleh bu de saya untuk ikut maju bersama umat yang akan
menerima komuni. Jadilah hari itu menjadi pertama kali menerima hosti. Rasa
hosti itu sungguh mengagetkan saya, tidak seperti yang diceritakan oleh ibu dan
kakak saya bahwa hosti sangat enak rasanya. Ternyata, rasa enak itu bukan
secara fisik, melainkan secara rohani.
Komentar
Posting Komentar