CERITA KECIL: Menerima Tamparan Bapa Uskup (Bagian 30)

 


Setahun kemudian setelah menerima komuni pertama, saat saya duduk di kelas 6 sekolah dasar, saya termasuk yang didaftarkan oleh ketua lingkungan (kring) yaitu pak de saya, untuk mengikuti misa penerimaan sakramen kasantosan (misa krisma). Saat itu misa berlangsung di stasi Sambeng. Kami dari kring Candirejo harus menempuh perjalanan sejauh 6 kilo meter ke arah barat. Kami berjalan berombongan melalui jalan tembus, sebuah jalan kampung yang dikeraskan dengan bebatuan.

Saya saat itu dipenuhi perasaan dag dig dug, sebab oleh ketua kring hanya diberi tahu tata caranya, bahwa saat menerima sakramen kasantosan Bapa Uskup akan menampar pipi kita, dan wajib menjawab Amin. Saya membayangkan, ditampar pipi apakah tidak sakit? Karena pak de mengatakan untuk dapat menjadi orang katolik harus kuat. Saya menjadi sangat cemas, apakah nanti saya kuat menerima tamparan seorang Uskup.

Tibalah saatnya penerima sakramen kasantosan.  Satu persatu dipanggil maju untuk menerima tamparan Bapa Uskup. Dari belakang saya sering melihat ke depan untuk mengetahui adakah umat yang jatuh saat ditampar. Ah, semuanya kuat tidak ada yang jatuh. Maka dalam hati, saya berdoa:”Tuhan, mohon kekuatan agar saya tidak jatuh saat ditampar oleh Bapa Uskup”. Akhirnya, saya berhadapan dengan Bapa Uskup Justinus Kardinal Darmojuwono. Sambil berlutut saya menerima sebuah tamparan lembut di pipi kira saya. Dan saya menjawab dengan mantab: AMIN. (Sekali lagi saya belajar bahwa yang dimaksud dengan tamparan hanyalah sebuah simbol, bukan arti fisik).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

KISAH NYATA: Siap Sedia atas Talenta (Bagian 10)

KISAH NYATA: Harmonisasi dalam Keluarga (bagian 08)