CERITA KECIL: Cerita Tugu Pokah (Bagian 2)

 


Dusun Pangkah, di mana kami tinggal terdiri atas dua daerah yang terpisahkan oleh sebuah sungai yang mengalir dari selatan menuju ke  utara. Kata orang, sungai yang mengalir di dusun kami itu pada akhirnya akan bergabung dengan aliran Bengawan Solo. Di dusun kami terdapat daerah pertemuan dua sungai kecil, yaitu sungai Ngrapah, dan sungai Pucung. Pada area pertemuan dua sungai ini  terbentuk hamparan pasir yang cukup luas. Di tempat inilah anak-anak dusun Pangkah,-termasuk saya bermain bola ketika musim kemarau.

Seperti biasanya, pada hari Minggu sekitar pukul 2 siang, kami anak-anak usia sekolah dasar sepakat bermain bola bersama di hamparan pasir tempuran sungai. Kira-kira sejam permainan, ada sesuatu yang menarik perhatian kami, yaitu beberapa orang dewasa memasuki area dekat hamparan pasir dengan membawa sebuah gerobak yang kami sebut songkro.  Rupanya mereka sedang akan mengambil pasir urug untuk meratakan jalan di depan sebuah rumah yang sedang dibangun di dusun mereka. Mereka datang dari tetangga desa yang masuk wilayah kabupaten Sukoharjo, tetangga kabupaten. Dusun kami memang terletak di perbatasan dua kabupaten,-Gunung Kidul dan Sukoharjo.

Rupanya, saat akan mendorong gerobak tersebut melintasi jalan menanjak ke arah jalan desa, mereka mengalami kesulitan. Salain karena sarat muatan pasir, jalan tanjak tersebut cukup licin. Lantas mereka meminta bantuan kami untuk membantu mendorong gerobak. Sebagai imbalan, kami dipersilakan untuk naik ke atas gerobak. Rasanya sangat senang waktu itu!

Sesaat kemudian gerobak melaju keluar dusun Pangkah, menuju perbatasan desa kami. Perbatasan antar desa yang masuk dua wilayah kabupaten bertetangga itu ditandai oleh sebuah tugu batas. Maka tempat perbatasan ini kami sebut dengan tugu. Ketika gerobak melaju jalanan ke arah tugu tersebut, bapak yang menjadi pengendali gerobak tidak kuat menahan laju gerobak yang meluncur cukup kencang di jalan turunan. Dalam keadaan panik karena gerobak meluncur kencang, ia memutuskan menabrakkan gerobak pada tugu batas desa, akibatnya memang gerobak berhenti secara mendadak. Kami yang berada di atas gerobak hanya bisa mendengar suara “Bruk”. Lantas kami pun bergegas turun dari atas gerobak. Saat kami melihat keadaan, rupanya tugu batas sudah ambruk dan patah di bagian tengahnya.

Segera, kami melarikan diri kembali ke arah dusun kami dalam keadaan takut. Kami lari berhamburan tidak melalui jalan desa, melainkan melalui ladang-ladang dan pekarangan milik penduduk, sampai ke dusun kami. Kami tidak lagi menuju tempat bermain bola di daerah tempuran sungai, melainkan pulang ke rumah masing-masing dan menyimpan kejadian yang kami alami. Hingga keesokan harinya heboh berita bahwa tugu batas sudah ambruk akibat patah karena tertabrak gerobak songkro. Dalam bahasa daerah kami, ambruk karena patah itu disebut dengan istilah pokah. Lambat laun, daerah batas itu dikenal sebagai Tugu Pokah. Sampai saat ini masih tetap disebut tugu pokah, walaupun sudah tidak ada lagu tugu batas daerah. Sebagai gantinya dibangun sebuah gerbang yang cukup megah oleh pemerintah daerah kabupaten Gunung Kidul.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

KISAH NYATA: Siap Sedia atas Talenta (Bagian 10)

KISAH NYATA: Harmonisasi dalam Keluarga (bagian 08)