CERITA KECIL: Bermain Kepala Banjir (Bagian 9)

 



Sebagaimana anak-anak sebaya yang senang bermain air, saya pun demikian.  Bagi kami, sungai adalah tempat bermain air yang menyenangkan. Di dusun kami mengalir sebuah sungai yang cukup besar. Kami menyebutnya sungai Pangkah, karena sungai tersebut merupakan gabungan dua buah sungai yang mengalir dari dari dua daerah lereng bukit,yaitu sungai dari timur (dusun Blembem), dan sungai dari selatan (dari dusun Pucung). Kedua Sungai tersebut membentuk sebuah sungai yang membelah dusun Pangkah, dan selanjutnya mengalir jauh sampai Bengawan Solo.

Pada musim kemarau, sungai-sungai tersebut tidak ada airnya, tertinggalan hamparan pasir dan batu-batukecil di atasnya. Pada saat kemarau panjang banyak sumur warga yang kering, tidak ada airnya. Bagi warga dusun, sungai kering itu menjadi harapan warga untuk mendapatkan air dengan cara membuat sendang kecil atau belik. Bagi kami kaum anak-anak, sungai yang kering dengan hamparan pasir yang cukup luas merupakan tempat bermain bersama. Saya dan teman-teman memanfaatkannya sebagai tempat bermain sepak bola. Bola yang kami gunakan biasanya bola plastik. Kadang kami bermain gobak sodor.  Kadang-kadang ada juga orang dewasa yang ikut bermain bersama kami.

Saat musim hujan tiba, hal yang sangat istimewa kami temui adalah kepala banjir. Yaitu, ujung aliran air yang mengalir melalui dasar sungai yang semula kering. Dengan riang kami biasanya mencegat ujung aliran air agar mengubah arah melalui permukaan pasir sungai kering. Semakin lama bisa membelokkan arah aliran, semakin bangga kami merasakannya. Setelahnya, kami dapat menyaksikan aliran sungai yang semakin membesar. 

Jika hujan sangat deras, sungai di dusun kami mengalirkan banjir cukup besar, dan cukup berbahaya. Ini terbukti ketika ada teman sebaya kami yang hilang terhanyut banjir, dan tidak ditemukan sampai saat ini. Namun, kami sudah terbiasa bermain-main dengan banjir. Saat banjir masih kami anggap “kurang bahaya”, kami bermain menggunakan pelampung dari sebatang  pohon pisang (gedebok). Biasanya kami menghanyutkan diri di sungai sampai ke desa sebelah, dan menepi untuk kemudian naik ke tepian sungai. Pulangnya jalan kaki bersama-sama sambil bercengkerama khas anak-anak.

Banjir besar kadang menyebabkan terbentuknya lubuk, biasanya terjadi karena aliran banjir terhalang oleh akar pohon atau tiang jembatan. Lubuk-lubuk yang tercipta menjadi tempat kami bermain dengan gembira. Jeburan, demikian istilah kami bermain di lubuk sungai. Karena terbentuk di bawah jembatan, hal itu menantang kami untuk berani adu nyali melompat dari atas jembatan. Yang berani melompat, yang tidak berani menonton saja!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

KISAH NYATA: Siap Sedia atas Talenta (Bagian 10)

KISAH NYATA: Harmonisasi dalam Keluarga (bagian 08)