Cerita-7 Numpang Sunat

NUMPANG SUNAT

     Ketika itu aku masih duduk di kelas 1 SMP. Suatu hari ibuku mengajakku berkunjung ke rumah kakakku karena anaknya akan disunat. (aku sepantaran dengan anak sulung kakakku itu. Aku lahir setahun sesudah keponakanku).

     Di rumah kakakku sudah terlihat kesibukan. Maklum, saat anak akan disunat, diadakan pesta mengundang para tetangga, saudara, dan kenalan. Tentunya untuk turut bergembira. Kedatangan para tamu tentunya menjadi kebahagiaan tersendiri. Atau mungkin kebanggaan tuan rumah, dalam hal ini kakakku dan suaminya.

    "Bagaimana, apa kamu di sunat sekalian?" bertanya kakak padaku. Akupun terhenyak, karena memang tidak siap. Juga timbul perasaan takut, karena sunat tentunya sakit.
"Tidak, kak." jawabku.
"Kenapa? Sudah sekalian saja dengan Seto. Kamu kan sepantaran, jadinya sudah pantas untuk disunat".
Waduh, aku berkata dalam benakku. Ini bukan masalah pantas dan tidak pantas. Tetapi masalah rasa takut.
Sekilas aku lihat ibuku. Ternyata pada saat bersamaan ibuku menoleh menatapku. Beliau lantas bertanya padaku, lebih tepatnya berharap. "Ya, nak. Benar kakakmu. Kamu sudah pantas sunat". Aku hanya bisa menunduk, diam. Ibu melanjutkan bicaranya." Tapi ya sudah kalau kamu belum siap, ibu tidak apa-apa".

     Akibat perkataan ibu, aku resah. Aku tahu bahwa ibu mengharapkan aku agar disunat, bareng cucunya. Aku menyadari kalau harus sunat di lain waktu, atau setahun lagi, itu perlu biaya. Biaya untuk mengadakan pesta tentunya.Ayah dan ibuku bukan termasuk orang yang berada. Akupun berdoa kepada Tuhan agar aku diberi petunjuk, apakah aku ikut bersunat atau harus menunggu setahun lagi.

     Rupanya Tuhan menjawab doaku. Pagi-pagi benar, saat terbangun aku kepikiran untuk menerima tawaran kakakku, ikut disunat. Pagi itu, aku menemui ibuku. Beliau sedang menyalakan tungku untuk memasak air. Ku dekati pelan-pelan ibuku.
"Bu, aku mau disunat". Mendengar kataku ibuku terlihat kaget, lantas berkata kepadaku. "Apakah benar, nak?". "kalau benar, ibu akan sampaikan kepada kakakmu". Aku hanya menjawab dengan anggukan.

    Akhirnya, akupun disunat. Disore hari. Setelah mandi, dan mengenakan sarung baru hadiah dari kakakku, aku melangkah dengan sedikit rasa takut ke ruang operasi. Operasi sunat sendiri aku jalani di rumah kakakku. Dan yang menyunat adalah kakak iparku sendiri. Kebetulan suami kakakku adalah seorang mantri kesehatan sekaligus biasa melayani anak yang akan sunat.

     Sesudah proses operasi beberapa waktu, aku akhirnya menyandang status baru, seorang perjaka. Dalam masa penyembuhan, aku rupaya termasuk orang yang beruntung. Luka diujung burungku cepat mengering, dan sembuh. Sedangkan ponakanku lebih agak lama sembuhnya, karena ia rupanya lebih bandel dan tidak mau diam, Jadi ia menderita luka lebih lama.

     Lima hari kemudian, aku pulang ke kampung halaman dengan menyandang bentuk baru. Sebutan baru, seorang perjaka. Di kampung halaman aku mendapatkan ucapan selamat sudah menjadi perjaka. Teman-temanku bertanya. "Apa benar kamu sudah sunat?". Maka aku jawab dengan mantap."Ya, Aku sudah sunat!". Mereka masih bertanya,"Kapan menanggap wayangnya?" .

     Pada umumnya dikampungku, saat anak laki-laki disunat ditanggapkan pentas wayang semalam suntuk. Aku menjelaskan bahwa aku tidak memerlukan hiburan wayang. Aku lebih membutuhkan biaya itu untuk pendidikanku. Aku ingin sekolah yang tinggi.

    Yang penting, aku sudah sunat dan menjadi perjaka.(vic)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL