Cerita 18. Tetap Saudara



BEDA HALUAN TETAPI TETAP SAUDARA

Aku panggil kakakku ini mbak Sisil. Namanya Cicilia. Orangnya kecil, tetapi bersemangat besar. Buktinya, dialah kakakku yang berani menyatakan keinginannya untuk menjadi guru. Untuk mewujukan cita-citanya itu, mbak Sisil harus bersekolah di kota yang jaraknya 23 km dari dusun kami. Pada saat itu, tentuknya jarak sedemikian jauh itu tidak bisa dilaju setiap hari. Mbak Sisilpun terpaksa menyewa kamar kos di kota kabupaten sebelah timur kota Yogyakarta. Ya, mbak Sisil adalah kakakku yang pemberani!
Setelah lulus dari SPG, mbak Sisil merantau ke kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya kota Salatiga. Di kota kecil ini, mbak Sisil mencoba menatap masa depannya. Ia menjadi guru honorer di sana. Setelah melalui penantian beberapa lama, mbak Sisil mendapatkan panggilan dari dinas pendidikan untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang guru sekolah dasar di desa  kecil di sebelah timur kota Semarang. Dan kakakku itupun dengan senang hati berpindah ke desa tersebut untuk memulai menjadi seorang pegawai negeri,-menjadi seorang guru sekolah dasar.
Sebagai seorang yang menganut agama katolik, tentunya tidaklah mudah untuk hidup di tempat baru yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia menjadi seorang yang harus menyesuaian diri dengan lingkungan yang baru dan memiliki perbedaan mencolok dari dusun kami, terutama karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam dan sangat fanatik.
Aku sangat mengagumi ketegaran mbak Sisil, ia memutuskan untuk tetap bertahan dalam kondisi demikian, dan tetap mempertahankan iman Katoliknya. Sampai suatu saat, ia dilamar oleh seorang pria muslim untuk menjadi istrinya. Mbak Sisil menerimanya dengan syarat menikahnya dengan tata cara agama katolik. Barangkali memang sudah berjodoh, ternyata syarat yang diajukan oleh mbak Sisil disanggupi oleh calon suaminya. Dan akhirnya, merekapun menikah di gereja di kota Wonosari.
Hari demi hari, bulan demi bulan, bertahun-tahun sudah mereka membina keluarga. Mbak Sisil tetap dengan agam katolik, dan suaminya tetap dengan agama Islam. Sejauh aku melihat, mereka menjadi keluarga yang akur dengan harmonis. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki. Kedua anak mbak Sisil mengikuti agama ayahnya. Walaupun sebenarnya mereka tidak menepati janji pernikahannya dahulu, yakni akan mendidik anak-anaknya menjadi katolik.
Aku pernah bertanya kepada mbak Sisil tentang janji perkawinannya. Namun, alasan yang disampaikannya dapat aku pahami, bahwa di daerah tempat tinggalnya jarang orang yang beragama Katolik, sementara jarak gereja yang terdekatpun sangat jauh.
Waktu adalah milik Tuhan. Saatnya kedua orangtua kami harus menjalani takdir Tuhan. Pulang ke rumah Bapa di surga. Ayah berpulang lebih dahulu. Lima tahun kemudian ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Pada saat tiba waktunya 1000 hari kami mengadakan doa untuk arwah ibu, aku lihat ada hal baru dari mbak Sisil. Dia tidak ikut berdoa bersama kami,- doa secara katolik.
Mbak Sisil sekarang sudah memeluk agama suaminya. . Bagiku, perubahan keyakinan seseorang tidak mengapa. Memilih agama adalah hak pribadi. Hak asasi manusia. Ternyata, mbak Sisil mengubah keyakinannya demi kesamaan dengan keyakinan keluarga, mengingat masa tua. Demi kenyamanan bersama, ia memutuskan berubah haluan. Sekarang berdoa menghadap kiblat di sebelah barat.

(Mbak Sisil….walau sampean sudah berpindah haluan, kakak adalah tetap saudaraku. Aku hormati pilihan keyakinan mbak Sisil. Kita tetap orang Indonesia) (vic)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL