Cerita-3 Cerita Kecil

TUGU POKAH

    Aku menceritakan ini kepada anak dan cucuku. Cerita sebuah pengalaman nyata dari terbentuknya daerah bernama Tugu Pokah. Tugu Pokah saat ini adalah sebutan untuk satu daerah perbatasan desa Candirejo yang masuk wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan desa Pulerejo wilayah kabupaten Sukoharjo.

    Dahulu, kedua desa perbatasan itu dihubungkan dengan jalan yang dikeraskan dengan batu sehingga kondisi jalan tidak begitu halus, namun cukup bisa dilalui kendaraan besar semisal truk dan bus. Desa Candirejo terletak lebih tinggi di banding desa Pulerejo. Sebagai penanda perbatasan, di tengah-tengah jalan didirikan sebuah tugu dari bahan batu bata. dari adanya tugu inilah daerah itu dikenal sebagai Tugu. Dan saat ini walau tugu yang dimaksud sudah tidak ada, dan sebagai penanda perbatasan telah dibangun sebuah gapura cukup megah, daerah itu tetap disebut dengan Tugu Pokah.

    Pokah adalah bahasa jawa yang artinya patah. Ya, tugu batas desa itu patah di bagian tengah oleh sebab yang aku saksikan sendiri bersama teman-teman sepermainan. Saat itu, sebagaimana kondisi masyarakat desa yang masih tertinggal, termasuk dalam hal hiburan, kami anak-anak dusun Pangkah menghabiskan waktu bermainnya dengan bermain bola atas hamparan pasir sungai di pertemuan dua sungai yang mengalir di dusun pangkah. Daerah itu kami sebut tempuran.

    Saat kami asyik bermain bola di tempuran, perhatian kami teralihkan oleh kedatangan beberapa orang deawa yang menarik songkro, yaitu sebuah alat pengangkut barang yang ditarik oleh orang sebagai tenaga penariknya. Rupanya orang-orang pembawa songkro itu akan mengambil pasior kali untuk menguruk lahan di desanya yang akan dibangun rumah di atasnya. entah siapa yang memulai, kami anak-anak dusun sejenak menghentikan permaian bola, dan mulailah kami terlibat untuk mengisi songkro dengan pasir.

    Sebagai anak-anak, kami sangat senang mengisi songkro, karena kami menganggap hal itu sebagai bentuk permainan. Saat songkro sudah penuh pasir, orang yang mengambil pasir itu memberi kami hadiah yang bagi kami sungguh luar biasa: naik songkro. Maka mulailah kami satupersatu naik ke atas songkro, dan kemudian songkro itu ditarik oleh pencari pasir. Songkro bergerak perlahan, dan kami sangat menikmatinya. Maklum, bagi kami songkro serasa mobil mewah, sebab kami sangat jarang naik kendaraan.

    Perjalanan songkro mula-mula sangat kami nikmati. Tibalah saatnya timbul rasa khawatir kami ketika songkro sampai di jalan menurun panjang. Rupanya penarik songkro tidak dapat menarik alat pengerem, sehingga songkro itu berjalan semakin cepat, dan terpaksa songkro dikendalikan sambil berlari. Entah apa yang terjadi, kami hanya bisa berteriak-teriak dari atas songkro dengan perasaan takut jatuh terjungkal bersama teman-teman dari atas songkro.

    Kami mendengar teriakan penarik songkro. Awas............. Tiba-tiba laju songkro terhenti, disertai suara dug...blug. Kami segera meloncat turun, dan melihat apa yang terjadi. Rupanya tugu perbatasan patah di bagian tengah, dan sang penarik songkro terduduk dengan tatapan nanar, dan napasnya tersengal-sengal. melihat hal itu, kami anak-anak yang menjadi penumpang songkro tanpa dikomando berhambur lari tunggang langgang menyelamatkan diri karena takut dimarahi oleh pak polisi yang rumahnya tidak jauh dari tugu itu.

    Seharian kami bersembunyi di ladang-ladang milik orangtua kami, dan tidak berani bercerita kepada siapapun. Esok harinya kabar patahnya tugu tersebar di seluruh desa, dan banyak orang datang melihat patahan tugu yang masih tergeletak di tempat. Dalam benaknya mungkin mereka bertanya, kok bisa patah? kok tugunya pokah? Dan entah siapa yang mulai menyebutnya, daerah tugu itu sekarang dikenal sebagai daerah Tugu Pokah.(vic)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL