Cerita-10 Gaji Pertama



GAJI PERTAMAKU

     Akhirnya kuliahku selesai. Sekarang aku menyandang gelar sarjana pendidikan . Seingatku, aku adalah orang pertama yang berhasil meraih gelar sarjana. Pada saat itu, aku adalah orang pertama yang melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Teman-teman seangkatanku hanya sampai sekolah menengah pertama atau menengah atas, bahkan ada yang tidak sampai lulus sekolah dasar. Mereka terpaksa tidak melanjutkan sekolah karena orang tua tidak mau lag mau lagi, lebih tepatnya tidak mampu lagi membiayai anak-anaknya sekolah di perguruan tinggi. Masyarakat di kampungku pada umumnya bermatapencaharian sebagai buruh tani. Setelah lulus smp atau sma, banyak temanku yang merantau ke kota.

     Aku menjadi orang pertama dikampung ku yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Bukan karena orangtuaku orang kaya, tetapi karena orangtuaku memiliki cara berpikir yang lebih maju dibandingkan pola pikir orangtua lainnya. Bapak dan ibuku berprinsip, warisan yang bisa diberikan dan tidak akan hilang adalah kepandaian. Maka, semua anak-anaknya disekolahkan. Walaupun untuk itu, bapak dan ibuku harus rela bekerja sangat keras. Untuk menyambung hidup dan memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya, kedua orangtuaku bekerja sebagai petani, menyambi berjualan kecil-kecilan di kampung. Bahkan harus rela menjual sawah dan lading ketika kakak-kakaku membutuhkan biaya pendidikan.
Keempat kakakku sudah merantau di kota. Kakak pertamaku menjadi seorang perawat di kota Salatiga. Ia bersuamikan laki-laki asal Salatiga. Kakak kedua dan ketiga merantau ke Jakarta. Sedangkan kakak nomor tiga menjadi guru di SD Negeri di pinggiran kota Semarang. Aku adalah anak bungsu, laki-laki. Mungkin karena statusku sebagai anak bungsu laki-laki sendiri itu, kedua orangtuaku sangat menyayangiku, hingga rela bersusah payah membiayaiku menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di kota Yogyakarta.
Aku sekarang sudah meraih gelar sarjana. Perjuanganku belumlah selesai. Aku sangat ingin membahagiakan bapak dan ibu, hitung-hitung untuk membalas kasih saying dan perhatiannya kepadaku selama ini. Saya sadar, tidak memungkin membalas lunas jasa kedua orangtuaku. Jasa orang tua memang tidak akan bisa dinilai dengan apapun.
     Sebagai sarjana baru, aku pun sibuk menyebar lamaran menjadi guru di berbagai sekolah. Tidak lupa aku mengikuti seleksi menjadi pengawai negeri. Rupanya nasibku ditentukan untuk tidak menjadi pegawai negeri. Bapak dan ibuku sebenarnya sangat mengharapkan aku bisa diterima menjadi pengawai negeri. Agar mendapat pensiun. Untuk memenuhi harapan kedua orangtuaku itu, aku pernah mengikuti seleksi pegawai negeri. Pertama, mengikuti seleksi guru. Aku gagal pada fase akhir di seleksi tingkat provinsi. Kedua, aku mengikuti selksi pegawai di kota Jakarta. Tes pengawai di Jakarta ini aku ikuti setelah mendapat panggilan seleksi dari depatemen tenaga kerja sebagai pemegang kartu kuning. Ternyata Aku juga gagal dalam tes kali ini. Bukan nasibku untuk menjadi pengawai negeri. (maaf Bapak, maaf Ibu)
      Kegagalanku dalam tes pegawai negeri ternyata berbanding terbalik dengan lamaranku ke berbagai sekolah. Dalam waktu bersamaan, aku mendapat panggilan dari berbagai sekolah swasta, ada yang dari Semarang, ada juga yang dari Jakarta. Dari berbagai penggilan itu, aku menentukan pilihan untuk menjadi guru di sebuah sekolah swasta di daerah Kebon Jeruk Jakarta.
Akhirnya aku merantau ke Jakarta. Bekerja menjadi guru muda. Aku menumpang tinggal di rumah kakakku yang letaknya cukup jauh dari tempat aku bekerja. Setiap pagi aku berburu waktu, pagi-pagi berangkat dengan menumpang mikrolet, bersambung dengan naik bus kota.  Sebulan kemudian aku dipanggil  kepala sekolah untuk diberikan gaji pertamaku. Rasanya senang sekali. Sampai di rumah kakakku, amplop gaji pertamaku aku buka, separo jumlah gajiku yang tidak seberapa itu aku sisihkan untuk ibuku. Sebagian aku berikan kepada kakakku, dan sebagiann lagi untuk ongkos transportasi sebulan ke depan.

     Beberapa hari kemudian setelah aku sisihkan uang gaji pertama, ada saudara sepupu yang akan pulang kampung. Aku titipkan separo uang gajiku untuk disampaikan ke ibuku. (Maaf, Bu. Aku hanya mengirimkan separoh gaji, karena sebagian aku gunakan untuk biaya transportasi). Dari sepupuku itu aku tahu ibuku menerima uang dengan terharu, anak bungsunya sudah bekerja. (Maaf juga untuk bapak, karena belum bisa memberikan sebagian uang. Aku berjanji, bapak. Bulan depan tiba giliran gajiku untuk bapak).(vic)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL