MASIH LEVEL DEMOK(E)RAS

 

Pesta demokrasi tahun 2024 baru saja terlaksana pada 14 Februari 2024 dalam pemilu presiden dan pemilu legislatif. Yang diumumkan melalui hitung cepat sebagai pemuncak raihan suara telah melakukan pidato “kemenangan”, sementara yang terpaksa menempati urutan kedua atau ketiga juga melakukan upaya mementahkan data hitung cepat dengan menyerukan: ada kecurangan! Ada juga yang mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan yang diarahkan kepada pemerintah yang dianggap melakukan segala upaya memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Patut diduga melancarkan kecurangan untuk menolong kerabatnya yang sedang bertanding.

Seruan penggunaan hak angket terus sambung menyambung bersaut-sautan di ruang-ruang publik secara langsung atau melalui media masa dan media sosial. Suara itu menggema dan berbenturan dengan suara penolakan dari pihak yang sedang “menang”. Bagi pemenang, adalah jalur Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu merupakan jalur yang sah dan diatur oleh undang-udang untuk menyelesaikan konflik pemilu. Bagi yang kalah, pokoknya harus ada cara untuk menggugat!

Persoalannya adalah bahwa apa yang digaungkan oleh elit politik itu memicu munculnya riak-riak perselisihan di kalangan rakyat jelata. Tidaklah heran saat ini sudah ada emak-emak yang dengan semangat berapi-api mengarahkan kemarahannya kepada pemimpin negeri sampai-sampai meniadakan sikap kehati-hatian terhadap kemungkinan melanggar kesopanan dan kepatutan etika dengan cara memaki-maki. Di satu sisi, para pendukung calon yang “menang” dengan berapi-api pula berupaya menangkis seluruh peluru yang ditembakkan dengan tidak kalah garang mengatakan bahwa yang teriak curang hanyalah pecundang!

Demokrasi kita masih belum pas berada pada rel ideal untuk mendorong kesejahteraan negeri di mana rakyat jelata adalah penguasa. Yang ada baru dalam level demokras (demo keras), adu kekuatan untuk menyudutkan sehingga kekuasaan dapat digenggam penuh kejumawaan, sementara yang terpojok hanya bisa memupuk dendam.

Semoga ke depan, demokrasi kita lebih baik, tidak lagi adu keras. Melainkan demokrasi yang beradab!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL