JALAN PANJANG

LDR

Suatu saat kelangsungan hubungan kami harus terjalin melalui hubungan jarak jauh atau dengan istilah kerennya LDR (long distance reliationship). Sebuah hubungan yang menuntut masing-masing dari kami untuk tetap setia. Dengan LDR ini kami tidak setiap saat bisa mengetahui keadaan masing-masing. Hubungan kami hanya bisa dilakukan dengan surat menyurat. Saat itu belum ada whatsapp. Jangankan Whatsapp, telepon kabel pun belum menjangkau wilayah Candirejo dan Pulerejo. Namun, keterbatasan itu justru memperkuat ikatan kami dengan saling mendoakan.
Hubungan LDR kami terjadi setelah saya lulus kuliah sebagai sarjana pendidikan pada tahun 1991 dan mulai merantau ke Jakarta. Ceritanya,  setelah lulus dan mengurus kartu kuning dari Depnaker Gunung Kidul saya melamar kerja.     Berbekal selembar ijazah sarjana saya mengikuti tes untuk mengisi lowongan guru PNS di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya adalah satu-satunya calon yang lulus dari seleksi tingkat kabupaten Gunung Kidul untuk posisi guru biologi. Pada kenyataannya harapan untuk menjadi seorang pegawai negeri harus terpupus karena gagal di tahap akhir seleksi di tingkat provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak lama kemudian, saya mendapat panggilan tes pegawai negeri di Depertemen Tenaga Kerja di Jakarta. Sekali lagi keberuntungan belum memberi kesempatan bagi saya menjadi bagian dari para pegawai negeri. Keadaan ini sedikit banyak membuat kecewa orang tua, karena ayah dan ibu sangat berharap anaknya menjadi pegawai negeri. Alasannya, ayah dan ibu berharap anaknya mendapat jaminan di hari tua nanti,- mendapat jaminan pensiun. Sebuah harapan yang bisa dimengerti karena ayah dan ibu melihat betapa para pegawai negeri itu mendapat gaji setiap bulan, dan selalu bercerita tentang uang pensiun itu nantinya. (di rumah ayah dan ibu tinggal beberapa guru pegawai negeri. Mereka berasal dari Sleman, Bantul, dan Kulon Progo).
Rupanya Tuhan memang tidak mengijinkan saya menjadi seorang pegawai negeri. Di saat menunggu hasil seleksi pegawai Depnaker di Jakarta itu, saya melamar kerja di sebuah sekolah yang namanya sangat menyentuh hati saya sebagai orang jawa katolik. Sekolah itu adalah SMA Katolik Sang Timur. Di suatu hari, selagi masih di Jakarta seusai mengikuti tes pegawai negeri, saya membawa berkas lamaran ke SMA Katolik Sang Timur,  dan diterima oleh seorang Suster yang sangat ramah (Sr. Stefani PIJ). Oleh beliau saya diantar menghadap kepala sekolah Sr. Alfonsa PIJ. Melalui wawancara singkat, saya pun diterima menjadi seorang guru biologi di SMA Katolik Sang Timur.
 Saya mengetahui nama SMA Katolik Sang Timur dari sebuah lembar lowongan penerimaan guru yang di pasang di papan pengumuman IKIP Negeri Yogyakarta ketika saya akan menuju ke SMA Van Lit Mutilan untuk melamar sebagai guru di sana. Dari Muntilan, saya menuju ke Semarang untuk menemui Br. Martinus FIC. Ternyata beliau sedang berada di Jakarta. Saya diminta untuk menunggu selama tiga bulan untuk mengetahui hasilnya. Akhirnya, saya kembali ke kampung halaman. Seminggu setelahnya, saya mendapat undangan tes di Depnaker Jakarta, sebuah tes penerimaan pegawai negeri yang pesertanya ribuan dari seluruh Indonesia. Tes pegawai Depnaker gagal.
Sesudah saya menjadi guru di SMA Katolik Sang Timur ini, rupanya loyalitas saya diuji. Banyak sekolah yang telah menerima lamaran kerja saya menghubungi bahwa saya diterima menjadi guru, dan harus segera datang ke tempat. Ujian terakhirnya, adalah pertanyaan kepala sekolah (Sr. Alfonsa PIJ) kepada saya, mau pilih SMA Katolik Sang Timur atau SMA Katolik Bunda Hati Kudus, dengan pilihan: jika saya pilih SMA Katolik Sang Timur, teman saya sesama guru baru yang ke SMA Katolik  Bunda Hati Kudus. Tetapi jika saya pilih SMA Katolik Sang Timur, maka teman saya yang di SMA Katolik Sang Timur. Dan pilihan saya jatuh pada SMA Katolik Sang Timur.  Saya mengabdikan diri sebagai seorang guru di SMA Katolik Sang Timur sampai saat ini, dan sudah melalui pengabdian 25 tahun beberapa waktu yang lalu.
Tak terasa, tanggal 5 November 2019 ini menandai  perjalanan cinta kasih kami Victorianus Sugiyanto dan Anastasia Erni Puji Rahayu telah genap 25 tahun sebagai suami-istri dengan 3 orang anak yang sungguh kami kasihi. Sebuah perjalanan hidup yang mesti disyukuri atas kemurahan Tuhan bagi kami berdua serta anak-anak yang dikaruniakan kepada kami. Benih-benih cinta itu semakin bertumbuh, mekar, dan berbuah. Semoga Tuhan senantiasa melindungi keluarga kami. Yang dipersatukan oleh Allah, jangan diceraikan manusia. Amin.
(bagian 2)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI 57 FITNAH

PUISI 1 Tawuran

PUISI 35 SIAL