Cerita 20. Kambingku
KAMBINGKU MATI EMPAT
Jauh sebelum heboh kasus kopi
sianida yang menghabiskan energi peradilan, dengan korban seorang perempuan di
Jakarta, aku mempunyai pengalaman traumatik dengan racun yang namanya sianida.
Bedanya, di Jakarta si korban meninggal setelah minum kopi yang diduga sengaja
diberi racun sianida, pengalaman traumatikku terjadi dengan tidak sengaja. Jadi,
oknum pelakunya cukup meminta maaf tanpa perlu dihadirkan di sidang pengadilan.
Kejadiannya, aku memiliki beberapa
ekor kambing, Kambing-kambing tersebut adalah hasil pengembangbiakan kambing
yang aku beli dengan uang beasiswa . Aku memperoleh beasiswa setelah nilai
sekolahku baik. Oleh pemerintah, prestasiku diapresiasi dengan memberi sejumlah
uang beasiswa. Setelah beberapa tahun, kambing milikku telah beranak-pinak
menjadi beberapa ekor.
Adalah Bu Atun, seorang guru
sekolah dasar di desaku. Bu Atun tinggal di rumah ayah dan ibuku. Oleh
orangtuaku, Bu Atun diberi sebuah kamar untuk ditempati bersama anaknya yang
masih kecil. Bu Atun berasal dari kabupaten Kulon Progro. Ia pulang kerumahnya
di Kulon Progro setiap akhir semester.
Suatu hari, Bu Atun pergi ke Pasar desa
di dekat rumah. Membeli barang kebutuhan dapur. Bu Atun memasak sendiri makanan
untuknya dan anaknya, tidak bersama dengan ibuku. Hari itu, Bu atun membeli dua
ikat sayuran daun singkong. Setelah dipetik daunnya, sisa tangkai daun dan daun
singkong yang sudah tua diberikan pada kambing-kambingku. Hari itu sekitar
pukul 10. Beberapa jam sesudah kambing-kambingku makan sisa daun singkong
pemberian Bu Atun, beberapa kambingku terus-menerus mengembek dengan suara yang
aneh. “mbeekkk….mbeekkkk….mbeeekkk…..”.
Mendengar kambingku mengembek
dengan suara yang mencurigakan, aku buru-buru berlari ke kandang. Aku sungguh terperanjat, empat ekor kambingku, dua ekor anak kambing dan dua ekor induk kambing
rebah di kandang dengan mulut berbusa. Serta merta aku berteriak memanggil ibu.
“Ibu….ibu…ibu…! Kambingku kenapa ini?”
Ibuku segera mendekati kambing-kambing itu. “Wah, ini
sepertinya keracunan. Keracunan apa?. Tadi pagi kamu beri makan apa?”. Ibuku
bertanya kepadaku. “Aku hanya memberi rumput yang kemarin aku cari,Bu”. Jawabku
menerangkan.
“Tapi, masa rumput ini beracun? Jangan-jangan kamu memberi
makan daun singkong. Kadang daun singkong beracun. Apalagi kalau mengambilnya
sore hari.”.
“Aku tidak mengambil daun singkong di ladang kok, Bu,
semuanya rumput” Aku meyakinkan ibu kalau aki tidak memberi kambingku makan daun
singkong.
“Lha ini apa? Ini kan daun singkong. Kalau bukan kamu yang
memberinya daun singklong, lalu siapa?” Ibu menatapku tajam. Aku terus
mengatakan bahwa aku tidak memberi makan kambingku daun singkong, karena aku
memang tidak memberi daun singkong ke kambing-kambing itu.
Lalu dengan sigap ibuku mengambil pelepah daun papaya,
dipotongnya pendek, lalu ditusukkan di dubur kambing-kambing yang terus
mengembek itu. Katanya untuk menolong kambing, agar bisa mengeluarkan kentut. Aku
melihatnya dan berharap-harap cemas, semoga keempat kambing itu bisa selamat.
Namun,
nasib mengatakan lain. Kulihat dua ekor anak kambing itu terdiam, tidak lagi
mengembek. Kata ibuku, dua ekor anak kambing itu telah mati. Tentu aku sedih.
Kambingku telah berkurang dua. Dua ekor kambing yang akan menjadi generasi penerus
kambing di kandang milikku telah mati. Keracunan daun singkong!. (menurut literasi yang aku baca, daun
singkong mengandung racun sianida).
Beberapa
jam kemudian, ternyata kambing dewasas yang keracunan daun singkong itu menyusul
kedua anak kambing, mati. Aku sangat sedih, sedih sekali. Tak terasa air mataku
menetes di pipiku. Ibu mencoba menghiburku.”Ya sudah, kambingmu mati. Mungkin
bukan rejeki. Masih ada beberapa ekor kambing yang lain. Kalau dipiara baik,
pasti nanti akan beranak-pinak lagi”. Ke empat kambingku itu kemudian di
kuburkan bersama dalam satu lobang di kebun. Ayahku yang menguburkannya. Aku
hanya bisa menyaksikan keempat kambingku itu perlahan dimasukkan ke lubang, dan
ditimbun tanah. Oleh ayahku, di atas pusara kambing itu ditanami sebatang pohon
pisang. Ayahku berkata,”Tidak apa-apa, kambing ini mati. Tapi pohon pisang ini
akan tumbuh dan berbuah.”
Suatu
hari Bu Atun memberiku baju baru. “Ini, Ibu memberimu baju sebagai permintaan
maaf atas kelalain ibu memberi makan kambing dengan sisa daun singkong. Ibu
tidak tahu kalau daun singkong ternyata beracun bagi kambing.”. Pemberian baju
Bu Atun aku terima dengan perasaan masih sedih karena matinya empat ekor
kambing kesayanganku.
Dari peristiwa
itu aku belajar sesuatu. Tidak boleh menyesali atas kehilangan harta milik.
Harta masih bisa dicari. Karena harta adalah milik yang kuasa. Pemberian Tuhan.
Sekedar titipan. Aku belajar ikhlas dan memaafkan. (Vic).
Komentar
Posting Komentar