Cerita 19. Kilas Mei 98
PENGALAMAN TRAUMA
(JANGAN TERULANG)
13 Mei 1998. Situasi politik saat
itu sangat menegangkan. Berawal dari terpilihnya Sang Jenderal Tua menjadi
pucuk pimpinan negeri untuk yang kesekian kali, suasana kota Jakarta menjadi
sangat liar. Beberapa aktivis penentang sang Jenderal tiba-tiba lenyap entah
kemana?. Memicu terjadinya aksi demontrasi di sudut-sudut kota. Aksi-aksi demontrasi itu menyebabkan
reaksi represif dari para penguasa, sampai akhirnya terjadi tragedi peluru “nyasar” yang membunuh
tunas-tunas muda . Tunas-tunas bangsa yang seharusnya menjadi pewaris negeri.
Situasi semakin kelam. Siang itu
gerakan massa bergerak ke jalan-jalan. Gerakan massa menuju pusat-pusat
pertokoan. Entah siapa yang memulai, akhirnya massa seakan berlomba mencari
kesempatan, menyerbu toko-toko, dan perumahan-perumahan. Terjadilah aksi massa jarah-menjarah.
Yang tidak kebagian jarahan, melampiaskan kemarahan dengan menghujani toko dan
bangunan di sekitarnya dengan batu dari berbagai ukuran. Anehnya, sebelum
melontarkan batu dan “api dendam”, para penjarah itu meneriakkan gema dengan
menyebut nama Tuhan. Sungguh miris.
Saat itu, awak angkutan jalan raya
melakukan mogok bersama. Akibatnya, terjadi penumpukan massa, berbaur antara
yang mau pulang ke rumah dengan yang mau menjarah. Aku sendiri terpaksa
berjalan sekita 4 km dari tempat kerja ku menuju ke sebuah stasiun kereta api
untuk pulang ke rumah. Aku berjalan beriringan dengan seorang temanku, berjubel
di tengah massa.
Sampai kira-kira 2 km lagi kearah stasiun
kereta, situasi semakin liar. Terlihat anak-anak tanggung sampai orang-orang
dewasa berlarian sambil menenteng barang, bahkan ada yang sambil mendorong
troli berisi barang-barang. Rupanya mereka baru saja menjarah. Terlihat beberaa
toko rusak parah dan terbakar. Melihat hal itu, temanku mulai ketakutan. Dia
berjalan dan menggamit tanganku,”Pak, ayo kita balik saja. Saya takut nanti ada
peluru yang salah sasaran. Saya belum mau mati, Pak”. Dia berbicara sambil gemetar.
“Pak, kita terus saja. Mati hidup itu di tangan Tuhan.
Yakinlah dan jangan takut. Keluarga kita sudah menunggu di rumah” ujarku. Maka
aku dan temanku terus mengikuti kerumunan massa bergerak terus menuju stasiun
kereta. Di depan toko Ramayana, situasi semakin memanas. Terlihat asap
membumbung tinggi dari seonggok ban bekas yang terbakar di jalan depan toko Ramayana.
Sementara itu, beberapa tentara berdiri dengan gagah menenteng senapan. Tetapi
mereka, tentara itu tidak dapat membuat gerakan apapun untuk mengatasi situasi.
Maklum suasana memang chaos, kacau!. Sesekali masih terdengar pekik suara menyerukan
nama Tuhan, dan asap mengepul di mana-mana.
Situasi semakin mencekam. Situasi
di stasiun kereta pun semakin tegang. Beberapa perempuan terlihat meneteskan
air mata. Takut. Kereta api yang biasanya satu jam sekali melintas di stasiun,
ternyata hari itu tertunda sampai 3 jam lebih. Terpaksa aku dan temanku, serta
orang-orang yang menunggu kereta harus rela duduk tegang menyaksikan di beberapa
titik di kejauhan asap mengepul pekat, hitam bergulung-gulung, membumbung terbang tinggi ke udara.
Dan akhirnya, kereta api ekonomi
jurusan Rangkas Bitung itu pun tiba di stasiun. Dalam gerbong sudah sangat
berjubel. Sebagian orang terlihat memaksa diri masuk gerbong, tak peduli betapa
gerbong sudah begitu sesak. Yang penting segera bisa melanjutkan perjalanan. Sejenak
kemudian, terdengar suara petugas stasiun mengumumkan agar penumpang bertindak
sabar, dan tidak memaksa untuk masuk rangkai gerbong. Tetapi, sebagian besar
tidak mempedulikan apa yang terjadi, mereka bergelantungan, bahkan ada yang
bergantung di sambungan antar gerbong. Yang penting segera terangkut, pulang.
Aku dan temanku memilih untuk
menunggu kedatangan kereta api berikutnya. Tak lama kemudian, satu rangkaian
kereta barang masuk ke jalur pemberangkatan. Aku dan temanku memutuskan untuk
naik kereta barang. Kami memilih untuk duduk di ujung gerbong barang, karena di
situ masih ada sediki t ruang untuk duduk. Berpegangan pada setonggak besi.
Kereta barang pun mulai bergerak
perlahan-lahan, lalu semakin cepat dan semakin cepat lagi sampai batas
kecepatan yang hanya masinis yang tahu.
Di sepanjang perjalanan, aku hanya
bisa berdoa. Semoga hari ini segera berlalu. Biarlah asap yang membubung tinggi
di Jakarta segera hilang ditelan angkasa. Semoga nanti malam hujan, agar esok
hari langit Jakarta tidak murung.
Sesampai di rumahku, istri dan dua
anak kecilku menyambutku dengan pandangan khawatir, sebab mereka melihat siaran
televisi yang menyiarkan kejadian mengerikan itu. Keluargaku lega melihat
suami, dan ayahnya selamat tanpa luka apapun.
Semoga kerusuhan massa seperti itu
tidak terulang lagi sampai kapanpun. Karena tragedi kemanusiaan itu sungguh menimbulkan
derita trauma kepada para korban. Nyawa ada yang hilang, kehormatan ada yang
hilang, dan harta benda hancur lebur. Hanyalah derita yang ada!
Jangan terulang!
(Vic).
Komentar
Posting Komentar